top of page

Chairil Anwar

  • photographrandi
  • May 31, 2017
  • 1 min read

Hidup hanya menunda kekalahan, tambah terasing dari cinta sekolah rendah, dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan, sebelum pada akhirnya kita menyerah.

Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam. Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu.

Ada yang berubah, ada yang bertahan. Karena zaman tak bisa dilawan. Yang pasti kepercayaan harus diperjuangkan.

Manisku jauh di pulau, Kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.

Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu.

Lebih baik tidak menulis daripada memperkosa kebenaran, kemajuan.

Hidup berlangsung antara buritan dan kemudi. Pembatasan cuma tambah menyatukan kenang.

Aku hidup dan berada dalam seluruhnya. Aku sendiri yang berhak atas kebenaran diriku. Dan kenikmatan yang terasa dalam berbuat sesuatu menandakan bahwa aku memang musti melakukannya.

Sesudah masa mendurhaka pada Kata kita lupa bahwa Kata adalah yang menjalar mengurat, hidup dari masa ke masa, terisi padu dengan penghargaan, Mimpi, Pengharapan, Cinta dan Dendam manusia.

Kami cuma tulang-tulang berserakan Tapi adalah kepunyaanmu Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan.

Sebuah sajak yang menjadi adalah sebuah dunia. Dunia yang dijadikan, diciptakan kembali oleh si penyair.

Aku menyeru – tapi tidak satu suara membalas, hanya mati di beku udara.

Sekeliling kita hanya berani menjadi sebagian dari mereka sendiri, yang paling disingkirkan ialah untuk membulat, menjadi diri mereka sendiri. Sekeliling kita hanya mencontoh. Contoh yang diturutnya ialah contoh yang dipilihkan baginya karena desakan-desakan, keadaan-keadaan sekeliling mereka pula.


 
 
 

Comments


Featured Posts
Recent Posts
Archive
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Instagram Social Icon
bottom of page